18/01/11

Berakhir di Bandar Kepastian part 1

      Sang surya merendah. Hari pun menyiapkan senjakala. Langit barat mulai berpesta warna dan cahaya, menyemburkan berjuta pesona. "Ya Allah, terimalah arwah A' di akhiratMu, dalam surga abadiMu," gumamku lirih sekali. Tanganku sibuk membersihkan nisan dari debu, gundukan tanah dari rumput, daun dan sampah. "Ampunilah dosa-dosa A' selama hidupnya, beri A' surga yang indah dan nikmat, karena dia sudah terlalu menderita akibat penyakit yang dideritanya selama di dunia," sambungku lagi tanpa peduli kanan-kiri. Aku tidak sempat memperhatikan panorama yang indah, cuaca bagus dan langit cerah sekali. Juga tidak peduli pada semilir angin pesisir ataupun airmata yang membasahi pipiku. Aku mengambil tas tangan, mengambil sebotol minyak wangi. Ku percikan minyak wangi itu pada gundukan tanah dan juga kubasuhkan pada kedua nisan. Setelah itu ku menunduk sambil menengadahkan kedua tanganku dengan kegemetaran yang kutahan. Mulutku membacakan doa untuknya.
      Tiga meter dibelakangku ada sebuah pohon besar. Seorang wanita duduk memperhatikanku sejak semulakala, tersembunyi di balik semak belukar. Wanita itu pun menyertaiku berdoa dengan mata terpejam. Doa dalam hati dengan mulut terbungkam.
      Aku bangkit membenahi diri. Wanita itu pun ikut berdiri, melangkah mendekatiku. "Mama....!" seruku dalam kaget campur heran. "Mama udah dari tadi?" Wanita itu pun menggeleng seraya bergumam, "Sudah sejak tadi De', mama menyertaimu berdoa." Aku mendekat dan memeluk wanita yang amat kusayangi itu. Tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipiku. Wanita itu mengambil segenggam bunga lalu ditabur di makam Indra Bagus Saputra, anaknya tercinta. Mengambil bunga lagi dan ditaburnya kembali ke gundukan tanah itu. Makam A' pun mengudarakan aroma harum. 
"Habis magrib nanti ada tahlilan di rumah De' ," ujar mama kepadaku. "Ya sekedar upacara doa tujuh hari, buat Indra. Tahlilan Islam, model Jawa. Kalau ada waktu sebelum pulang ke Belanda, datang ke rumah ya De'." Aku pun mengangguk. Kami berjalan berdua menuju gerbang makam.
"Mama sekarang kelihatan kurus." ucapku.
"Kau benar De'. Sesudah Indra meninggal, mama sangat terpukul. Segala terasa senyap dan hambar. Kematian itu menikamkan sesal-kecewa terus menerus. Anak seorang dokter, tapi mama tidak bisa menyembuhkan penyakit yang dideritanya."
"Jangan menyalahkan diri mama. Allah punya hak prerogatif atas soal maut, jodoh, rezeki. Tidak tergugat khan Ma! Maut adalah misteri Allah sendiri. Tidak bisa dicegah, mustahil ditolak. Bukan hanya mama saja yang kehilangan A' tapi De' juga sangat kehilangan Ma. Bahkan De' nggak sempat melihat wajah A' untuk yang terakhir kalinya."
"Mama tahu sayang bagaimana perasaanmu. Mama tahu kamu sangat menyayangi Indra. Tapi penyakit itu telah menggerogoti tubuhnya. Hingga ia tidak sanggup lagi untuk bertahan. Sekarang apa gunanya kita menyesal, semuanya sudah terjadi. Mungkin itu yang terbaik dari Allah untuknya. Kita harus ikhlas."
"Ya ma. Nasib memang tiada dapat tercegah dan maut tidak bisa ditolak. Tapi sebagai seorang manusia kita pasti merasakan kehilangan itu ma. Andai aku tidak pergi ke Belanda, pasti aku bisa menjaga A'."
      Kami pun membisu berada di ruang khayal masing-masing. Matahari terbenam. Senja pun susut dijemput malam. Akhirnya kami berdua tiba di rumah alm A'. Tahlilan rupanya sudah dimulai. Merka menyanyikan ayat Al-Qur'an, iramanya syahdu dan sakral. Aku duduk di sudut ruangan, turut berdoa dengan tulus untuk orang yang sangat aku cintai. Tanpa terasa air mata pun kembali membasahi pipiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar